Advertisement:
Dimas Kanjeng Saat Pribadi (jubah oranye). Gambar: Kompasiana.
Beberapa hari terakhir publik Makassar dihebohkan dengan kisah penggandaan uang ala Yayasan milik Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dikemas mirip pesantren. Uniknya, setiap santri yang akan bergabung wajib menyetor “mahar” senilai Rp15 juta dengan harapan uang tersebut suatu saat akan menjadi berlipat ganda lebih banyak. Seperti sudah diduga sebelumnya, kebanyakan uang santri tidaklah kembali berganda. Beragam reaksi pun bermunculan.
Menurut harian FAJAR, “santri” yang menyetor duitnya ke Kanjeng sudah mencapai puluhan ribuan orang dan tersebar tidak hanya di Sulawesi tetapi juga di Jawa. Maklum praktek ini telah ada lebih 10 tahun dan bermula dari Jawa. Latar belakang merekapun beragam, mulai dari petani, ibu rumah tangga, pengusaha, anggota DPRD, aparat kepolisian bahkan kalangan terdidik seperi dosen dan guru besar sejumlah kampus ternama. Dinding padepokan yayasan ini dipenuhi gambar-gambar foto Kanjeng bersama tokoh-tokoh terkenal termasuk Panglima TNI Moeldoko dan Prabowo Subianto.
Salah satu santri yang dikenal menyetor mahar dalam jumlah besar adalah pengusaha Najmiah Muin dan anaknya Muhyina Muin, keduanya warga Makassar. Tidak tanggung-tanggung, dana yang disetor telah mencapai puluhan milliar rupiah. Sejumlah sumber mengatakan bahwa Najmiah menjadi santri kesayangan dan mendapat akses khusus bila ingin bertemu Kanjeng.
Anggota Yayasan ini hanya berkumpul dalam istiqhosah setiap Kamis malam sehingga balutan agamis lebih kuat. Tidak sedikit yang menganggap bahwa menyetor uang Rp15 juta merupakan keikhlasan, tetapi dengan harapan mendapat berkah berlipat ganda. Menurut pengurus Yayasan, ahar tersebut akan ditujukan untuk kemslahatan umat.
Menjadi berita utama di media lokal, harian FAJAR.
Penggandaan Uang Hanya Modus Belaka?
Sayangnya pelipatgandaan uang tidaklah seperti yang diperlihatkan dalam aksi-aksi video Kanjeng. Kebanyakan santri tidak mendapatkan uangnya kembali. Ketika uang tak juga berlipat, keresahan pun merebak. AN (nama disamarkan) misalnya, mengaku telah menyetor setidaknya Rp400 juta, tetapi belum memperoleh uangnya dari Kanjeng. Oleh pengurus yayasan ia diminta bersabar. AN malah diminta merekrut lebih banyak orang lagi, tentu dengan membayar mahar wajib agar resmi menjadi santri.
Ketika ia menuntut dibayar, AN malah diberi 3 butir batu yang katanya bakal berubah menjadi berlian senilai Rp 3 milliar. Hanya saja, AN harus menunggu batu itu sampai “ON.” Penasaran, AN membawa batu tersebut ke ahli perhiasan di Pasar Sentral, Makassar. Ternyata batu itu sama sekali bukan cikal bakal berlian. Para pedagang bahkan tidak mau membeli batu tersebut seharga Rp50 ribu sekalipun. AN pun sadar bahwa ia telah tertipu, bagaikan terhipnotis. Ia sendiri prihatin karena masih banyak santri yang belum sadar, dan sepertinya masih mengharapkan harta gaib yang tak kunjung datang.
Lain lagi kisah pengusaha, sebut saja FI. Menurutnya, ia sebetulnya sudah tidak sepaham dengan tindakan Kanjeng. Apalagi setelah FI berkonsultasi dengan pihak MUI. Menurutnya ia tidak percaya lagi dengan janji modus Kanjeng. “Kita dijanji kalau setor Rp 1 milliar bisa (digandakan) jadi Rp 1 triliun.” Istri FI pun tergiur. Menurut FI, jumlah uang yang disetornya ke Kanjeng telah mencapai Rp 20 milliar. Memang, mereka pernah diberi bonus Rp3 milliar, tetapi setelah itu, tidak ada lagi kabar berita tentang uang mereka.
Najmiah sendiri, sebagaimana diberitakan FAJAR, diminta untuk bersabar. Najmiah memang pantas gusar karena uang yang disetornya tidaklah sedikit. Ia pun menyambangi Kanjeng ke kediamannya di Probolinggo. Najmiah sepertinya mendapat wejangan penyejuk dari Kanjeng. Menurutnya, Kanjeng akan menurunkan uang gaib yang dijanjikan pada bulan Oktober ini.
MUI: Itu Musyrik!
Keresahan yang dirasakan sejumlah besar santri, mengundang komentar dari pengurus MUI Sulsel. AGH Sanusi Baco selaku ketua MUI Sulsel sangat menyayangkan sifat masyarakat yang mudah percaya akan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, demi mendapat keuntungan. Sanusi Baco menegaskan bahwa kepercayaan bahwa Kanjeng memiliki sifat yakun, ya yakun (Jadilah! Maka Jadilah) dalam menggandakan uang, merupakan bentuk kemusyirikan yang snagat dibenci Allah. Menurutnya sifat itu hanya dimiliki Allah. Sayangnya, tanpa sadar banyak oarng yang meyimpang dan mencoba menyekutukan hal-hal mistis dengan Allah.
Selaku pemuka agama hanya bisa menyarankan agar masyarakat menyadari bahwa setiap usaha yang dijalankan Kanjeng saat ini mengandung penipuan. Demi mencegah jatuhnya lebih banyak korban ia berharap pada pihak kepolisian agar dapat menjadi ujung tombak penyelamat masyarakat dalam hal ini. “Harus dicari dan diusut pelaku utamanya. Ini agar keserahan atau orang yang tertipu tidak bertambah,” tegas Sanusi Baco.
Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo tidak kalah terkejut mendengar warganya banyak yang menjadi pengikut Kanjeng. Namun ia menampik kesan bahwa warga Sulsel bodoh dan mudah terperdaya tipu muslihat. “Saya kira itu bukan karena masyarakat bodoh atau bagaimana. Mungkin karena (mereka) terkesan saja dengan sesuatu yang bisa menggandakan uang,” ujarnya diplomatis. Syahrul berjanji secepatnya akan berkoordinasi dengan Polda Sulsel untuk mengusut kasus ini.